Monday, February 4, 2013

Rasa Sakit yang Ditolak (Resensi Buku Elegi)



Tak heran Tandi Skober dalam kata pengantarnya menyanjung Millatina setinggi langit untuk karyanya yang menakjubkan ini. 

Elegi adalah suara sukma yang meratap-ratap, batin yang merintih. Menyuarakan rasa sakit yang dalam yang tak tersembuhkan oleh waktu. Elegi mengisahkan kepedihan. Luka hati seorang anak yang merasa tidak dikehendaki kehadirannya. Yang tertolak dari kehidupan bersebab orangtua mengabaikannya. Kisah seorang anak bernama Dylan McFadden pengidap kelainan Heterochromia Iridum yang membawanya ke dalam pusaran persoalan yang kompleks sehingga ia pun menjadi penderita social anxiety disorder. Dylan yang terpojok dan terpuruk oleh keadaan dipertemukan dengan seorang wanita cantik yang menjadi malaikat penolongnya, Tante Miho, ibu dari Reyka Afabel. 

Reyka seorang anak laki-laki yang harus menjalani peran sebagai seorang perempuan. Ibunya memperlakukan Reyka sebagai perempuan. Reyka tumbuh bersama Dylan, menjadi orang terdekat dalam sebuah jalinan persahabatan yang rumit. Luka hati Dylan yang terus menganga dan meradang membuatnya menorehkan silet pada pergelangan tangannya hingga harus dirawat di rumah sakit. Tempat yang mempertemukannya dengan seorang gadis bernama Sara Visella, pasen yang terbaring lemah karena kecelakaan. Mereka berkenalan dan berteman tanpa saling melihat satu sama lain. Jarak yang dibatasi oleh dinding dan tirai berwarna putih. Tak ada daya dan upaya untuk menyingkap tirai itu, pun tak ada keberanian. 

Sara memiliki kakak laki-laki yang over protective, Rion, yang selalu menjadi bayang-bayang kelam bagi Sara hinga Sara tidak memiliki privacy karena kakaknya merasa wajib mengetahui segala macam persoalan kehidupannya sejak ayahnya meninggal. 

Ibarat jaring laba-laba, hati saling terpaut. Sara menjadi pusat bagi sebuah jalinan persoalan. Dia menjadi noktah tempat jarum jangka ditusukkan. Dia ada di antara tiga laki-laki yang sama-sama mencintainya. Demikianlah, mengapa novel ini berjudul Elegi. Dalam novelnya seolah-olah Millatina menyenandungkan rasa pedih yang tertahan. Kepedihan universal yang bisa dirasakan tidak saja oleh penulis melainkan juga oleh pembaca. 

Novel ini ditulis oleh seorang remaja, membahas persoalan remaja, dan berharap dibaca pula oleh para remaja. Namun, novel ini menjadi sesuatu yang harus diperlakukan berbeda dan wajib dibaca oleh para orangtua karena Millatina menyajikannya berbeda dari remaja pada umumnya. Ada cita rasa yang tinggi dalam memilih kata-kata. Diksi Millatina sangatlah dewasa. Setiap kata seolah telah dipertimbangkan secara matang kehadirannya. 

Novel ini terdiri atas 14 bagian yang ditandai dengan judul bab berbahasa Inggris, Prolog, Memories, After Thirteen Years, Surprise, First Sight, Remember Me, Pattisarie, Wine, Senorita, World Is Mine, Without Love, Star Rider, Will Be All Right, Epilog. Setiap bagian novel ini diawali oleh semacam kata bijak. Kata-kata yang memiliki kekuatan untuk merasuk ke dalam alam renungan pembaca. Kemampuan Millatina menjalin kisah dari prolog hingga epilog, kenangan, ingatan, kilas balik, kejutan, perenungan, harapan, membuat novel ini harus dibaca pelan dan penuh kekhusyukan. Alurnya sedikit rumit sehingga menghendaki perhatian penuh dari pembaca. Cara Millatina menjaga rasa penasaran pembaca sangat menggemaskan, selalu menyisakan tanda tanya dan geregeĆ­ dari setiap bagian novelnya. 

Millatina bersenandung lirih. Mengisahkan persoalan besar kehidupan lewat caranya yang belia. Persoalan penting yang dibutuhkan seorang anak adalah kasih sayang dan perhatian orangtua. Kehadiran orangtualah yang ditunggu pada saat anak merasakan dirinya tidak nyaman dan terancam, pelukan yang menenangkan bukan materi berlimpah sebagai penebus rasa bersalah. Inilah inti dari setiap persoalan remaja yang dikemas apik menjadi sebuah kisah yang asyik untuk dibaca.

Bagian demi bagian novel ini menyimpan butiran air mata yang mengkristal menjadi mutiara. Pesan moral yang layak didengar oleh telinga orangtua yang seringkali mendadak tuli karena kesibukan. Millatina mengajak berdamai dengan diri sendiri, mengajak untuk ikhlas mejalani hidup, mengajak untuk memaafkan diri sendiri dari kepahitan masa lalu bila menghendaki kehidupan yang baik di masa datang. Millatina menyulam indah renda kata-kata untuk menjadi pengingat bahwa hidup terlalu mahal untuk disia-siakan.

Kegemaran Millatina membaca, kecerdasan linguistik yang dimilikinya membawa pengaruh besar pada caranya berkisah. Dia melakukan intertekstual dengan kisah-kisah yang diminati. Hal ini bukan hal tabu atau diharamkan dalam dunia kepenulisan bahkan memperlihatkan kejujuran profesional. Terlihat ketika Sara bergumam "Hanyalah manusia yang dapat merasakan kepedihan karena memiliki sesuatu yang tak dibutuhkannya, namun mendambakan sesuatu yang tak mampu dimilikinya." Millatina mengutip kata-kata itu dari novel Laila dan Majnun karya Nizami (hal. 15). 

Atau pada saat menggambarkan cinta Reyka terhadap Sara, Millatina menulis ini: "Untuk kali pertama ia merasa jatuh cinta, yang kemudian segera berubah menjadi amor platonicus, seperti yang ditemukan dalam naskah Symposium karya Plato, sebuah cinta yang tak tersentuh, bersebelahan namun bukan untuk berdampingan. Sebuah cinta yang berada dalam situasi kompleks dan berubah menjadi sebuah ironi." (hal.65).

Sebuah tulisan adalah jejak langkah. Millatina sudah lama memulainya. Berkarib dan bersilaturahmi melalui tulisan lebih langgeng. Baca dan nikmatilah Elegi karya Millatina. Semoga berkah dan bermanfaat!

Yanti Sri Budiarti,
Penyair, peminat buku, dan guru SMAN 15 Bandung
(dimuat di koran Galamedia - edisi ke berapa?)

No comments:

Post a Comment