Monday, February 4, 2013

Dekonstruksi Pawayangan (Resensi Buku Madirda)





Buku kumpulan cerpen Madirda merupakan buku kumpulan cerpen keempat yang sudah ditulis oleh Hermawan Aksan. Buku ini mengemas lima fragmen yang masing-masing mengusung tema yang berbeda, yaitu Pawayangan, Sejarah, Asmara, Angkara, dan Surandil. Setiap fragmen terdiri dari cerpen-cerpen yang sebagian besar pernah dimuat oleh media massa, baik itu lokal maupun nasional. Cerpen dalam setiap fragmen di atas, diurutkan secara kronologis, sehingga pembaca bisa melihat perkembangan dan proses kreatif penulis yang terhimpun. 

Fragmen Pawayangan berisi cerpen-cerpen yang diangkat dari kisah-kisah dunia pawayangan. Cerpen yang bisa dikatakan sebagai transvaluasi nilai, membongkar otoritas dunia wayang yang kerap kali dijadikan patokan kebenaran baik itu dalam wilayah moral maupun epistemologis. Salah satunya adalah cerpen yang diangkat menjadi judul buku ini, cerpen Madirda yang diangkat dari kisah Dewi Anjani yang bertapa di Telaga Madirda. Dalam cerpen tersebut, para dewa yang kerap dijadikan sebagai patokan moral (kebaikan) dan epistemologis (kebenaran), rupanya terjerat dalam tindakan yang tak baik dan jauh dari benar pula, yaitu terjerat dalam tindakan coitus yang terlarang, sehingga lahirlah di kemudian hari seorang bayi bernama Rahwana. 

Fragmen Sejarah, berisi tentang sejarah kerajaan-kerajaan Sunda – Jawa, diracik dengan tetap menghadirkan kebertanggungjawaban historis yang merujuk pada validitas ilmiah. Sehingga cerita di dalamnya tidak begitu saja memihak pada kebenaran tertentu tanpa didasari oleh ilmu sejarahnya itu sendiri. Salah satunya adalah cerpen Air Mata Citaresmi yang kerap menghadirkan nilai emosional antara dua kebudayaan besar Sunda dan Jawa, terkait perang bubat. 

Fragmen Asmara berisi kumpulan cerpen yang berkisah tentang dunia cinta, dunia yang di dalamnya anak manusia menjadi serba buta. Meskipun demikian, cinta dalam buku Madirda ini bukanlah cinta yang cengeng, kerap kali menjadi cinta yang membuat siap berpikir ulang untuk lebih menghayatinya sebagai relasi antar manusia dalam keterhubungan eksistensial. 

Fragmen Angkara berisi kumpulan cerpen lawas yang menyuarakan kemarahan, angkara dan kritik-kritik pedas penulis terhadap berbagai permasalahan yang terjadi di sekitarnya. 

Fragmen yang terakhir, disebut sebagai fragmen Surandil dikarenakan berisi semua cerpen yang menghadirkan tokoh Surandil. Sebagaimana setiap cerpenis memiliki “tokoh jagoan” masing-masing, begitupun Hermawan Aksan, memiliki Surandil sebagai tokoh yang kerap dijadikannya sentral cerita. 

Secara garis besar, 22 cerpen dalam Madirda ini adalah cerita-cerita yang kritis, historis, transvaluatif, dan dekonstruktif. 


Absurditas Malka - Jawa Pos
penulis cerpen dan carpon absurd aktual, Karawang.


No comments:

Post a Comment