Monday, February 4, 2013

Menjadi Manusia (Beragama) yang Sempurna | (Resensi Buku Filsafat Manusia Sunda)




Selama ini orang Sunda telah dikenal dengan budaya masyarakatnya yang rukun, ramah, santun, moderat dan toleran dengan adanya falsafah siger tengah. Tentunya sangat menjunjung tinggi prinsip silih asih, silih asah, silih asuh dan kudu akur ka batur salembur dalam menghargai perbedaan pendapat, keyakinan. Ini semua mencerminkan masyarakat Jawa Barat yang santun, hidup rukun, harmonis, saling menjaga, memelihara untuk keberlangsungan hidup secara bersama-sama dengan berpijak kepada khazanah kearifan lokal dalam setiap mengambil tindakan, keputusan.

Namun, faktanya hasil laporan Setara Institute menunjukkan angka kekerasan dan intoleransi dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, khususnya Jawa Barat sangat tinggi dengan 76 peristiwa dari 371 selama tahun 2012. Tingginya angka kekerasan ini diakibatkan dari cara beragama kita yang tidak berawal dari mengalami iman, melainkan mengamalkan "Islam". Iman sebagai pengetahuan, bukan pengalaman, seperti yang diyakini oleh Drs. Ahmad Gibson Albustomi, M.Ag, dosen Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung dalam bukunya, Filsafat Manusia Sunda, Kumpulan Esai HHM, Teosofi dan Filsafat dengan mengajukan pertanyaan melalui judul; Aku Ingin Jadi Mualaf (Fragmen 20)

Menurut Haji Hasan Mustapa (HHM) menguraikan, perjalanan eksistensi (kehidupan) manusia (beragama) digambarkan HHM secara sistematis dalam naskah Sasaka di Kaislaman. Naskah tersebut merupakan naskah yang bersambung dalam alur, namun berbeda dalam karakter serta penekanan persoalan yang diungkap. Sementara itu, sejumlah (ribuan) bait pada dangding (puisi tradisional) lebih merupakan pembahasan melalui media sastra berkenaan dengan persoalan yang diungkap dalam kedua naskah tersebut.

HHM melalui dramanya dengan munculnya rasa kaislaman. Bila merujuk pada tradisi pemikiran Islam Indonesia antara abad ke-19 dengan abad ke-20, ada kemungkinan bahwa terminologi Islam yang dimaksud HHM bukan dalam pengertian formal melainkan lebih merupakan terminologi budaya. 


Dengan demikian, makna rasa kaislaman yang ia maksud adalah kesadaran moralitas dan intelek yang muncul, yang mengenalkannya pada norma baik-buruk atau benar-salah. Kesadaran akan adanya dua nilai tersebut telah secara alami memaksa manusia untuk memilih.

Memilih untuk mengikuti, menarima, atau menolaknya. Ketika itulah muncul terma perbawa. Suatu kekuatan internal yang bergerak secara dialektis. Penggunaan istilah kapangeranan dan iblis, sesungguhnya lebih merupakan penggambaran (antropomorfis) dan suatu kekuatan misterius dalam diri manusia. Kekuatan yang sulit dijelaskan dan diurai-pisahkan. Perbawa kapangeranan adalah simbol dari kecenderungan manusia untu meraih dan berjalan di atas nilai-nilai ideal (norma-norma sosio-religius), menurut HHM. Sedangkan perbawa iblis merupakan symbol bagi kecenderungan terhadap nilai-nilai sekuler, duniawi. (h. 18-19) 

Pemikiran HHM sampai pada rumusan eksistensi manusia. Yaitu diri. Diri sebagai pusat dan kiri-kanan seklaigus. Ia adalah satu dan semua perbedaan, pertentangan, berpusat pada diri. Bahasa (lalandian)-lah yang menghadirkan dunia sebagai fakta yang berbeda-beda dan bertentangan. Lalu, apakah perbedaan-perbedaan dan pemilihan itu sesungguhnya tidak ada? HHM menegaskan bahwa itu nyata, ada, dalam pikiran manusia. Perbedaan dan pertentangan adalah refresi evaluatif manusia atas sesuatu. Dan itu nyata.

Buku Filsafat Manusia Sunda adalah kumpulan tulisan karya Drs. Ahmad Gibson Albustomi, M. Ag. yang berisi permenungan filosofis dan religious atas keberadaan manusia, terutama kaitannya dengan tatar Sunda. Tulisan-tulisan yang terhimpun dalam buku ini semula merupakan 30 artikel lepas dalam surat kabar dan majalah serta makalah untuk forum diskusi dan seminar.


(Ibnu Ghifarie, 
Alumni Program Religious Studies Pascasarjana UIN SGD Bandung dan peneliti Academia for Religion and Social Studies (ARaSS) Bandung)
(dimuat di Pikiran Rakyat, edisi ke berapa?)

No comments:

Post a Comment