Wednesday, February 6, 2013

Virgina Wolf dan Secangkir Maryam (Resensi Payudara)

Menjadi perempuan itu pedih
Menelan hampa sendiri
Berjongkok di pojok sendiri

(Skylashtar Maryam)


Virgiana Wolf pernah menulis bahwa seorang perempuan harus mempunyai uang dan ruang bagi dirinya sendiri untuk menulis fiksi dan itu membiarkan hal besar tentang sifat perempuan dan sifat fiksi tidak terpecahkan. Wolf memandang bahwa pembicaraan ihwal perempuan dan fiksi dapat berarti perempuan dan seperti apa mereka; atau perempuan dan fiksi yang ditulis tentang mereka; atau semua itu menyatu.

Bagi Virginana Wolf ruang untuk diri pribadi begitu penting untuk menyoal perempuan dan fiksi. Terutama dalam proses kreatif untuk menulis. Kesadaran untuk ruang sepertinya dapat ditafsir agar seorang perempuan yang menulis dapat bebas menggulirkan ide dan mengamati dunia sekitarnya untuk membuat hal besar agar tidak “terpecahkan” (2000:148). Maksud tidak terpecahkan mungkin fiksi yang bisa dibaca kepada khalayak dan menawarkan fiksi, makna dan cerita tentang diri perempuan.

Setelah Virgiana Wolf meninggal, wacana perempuan dan sastra begitu lebar. Terutama dalam fiksi. Di sisi lain, terbukanya kran demokrasi mendorong terjadinya keragaman dalam usaha menulis karya fiksi. Perempuan yang dalam konteks sejarah jarang sebagai penulis fiksi akhirnya bermunculan ke permukaan.

Perempuan, mengutip Mery Wollstonecraft, bisa dilihat dari cara berpikirnya. Perguliran wacana tentang perempuan semakin hari semakin menarik. Dari persoalan global hingga menjalar ke persoalan lokal, bahwa perempuan dari awal sudah mengalami ketertindasan, mungkin itu pandangan para pemikir perempuan dari Barat. Dari perspektif ketimuran cara berpikir perempuan bisa berbeda.

Dari itu pula, tema-tema tentang perempuan banyak dibahas dalam karya sastra. Perempuan menjadi tema menarik, baik dari sudut pandang penulis lelaki atau perempuan. Perempuan menjadi isu hangat baik di media masa atau di mana pun. Tetapi pada sisi lain, jika melihat dari saluran pemberitaan yang resmi tubuh perempuan ditampilkan berbeda. Tubuh perempuan bisa memancing sekaligus “teraniaya”.

Payudara adalah buku kumpulan cerpen Skylatas Maryam yang dterbitkan secara indie. Skylahtar Maryam, perempuan kelahiran Bandung 1983, adalah seorang ibu rumah tangga yang produktif dalam menulis cerita pendek.

Dalam buku Payudara ini terdapat 27 cerita pendek yang berkisar ruang perempuan dan suara lain yang diletupkan. “Payudara” adalah salah satu judul yang dalam cerita pendeknya sangat menarik untuk dibaca. Selain itu, sudut pandang para tokohnya kebanyakan memakai sudut pandang orang pertama (aku) untuk menjadi juru kisah, meskipun sudut pandang bukan orang pertama hadir pula dalam beberapa cerpennya, misalnya alam cerpen berjudul “Airmata-airmata”: “Tapi ijah tidak percaya. Hidup sudah cukup mengajarkan bagaimana cara memamah luka, mengenyam kemiskinan. Dan kalau pun larangan itu benar adanya, Ijah bersedia. Ia rela tidak diberi rezeki seumur hidup, bahkan rela menukar nafasnya sendiri demi memperbaiki makam puterinya. Tanpa mengorbankan sepenggal nafas kedua orang tuanya…persetan dengan uang lima ratus ribu…! (hlm. 4).

Dalam “Airmata-airmata” narator mengamati dengan detail karakter Ijah yang sudah bercerai dengan suaminya, pekerja pabrik, yang putri keduanya telah meninggal, dan yang tersisa tinggal putri sulungnya dan kedua orang tuanya. Dalam cerpen tersebut, tubuh perempuan diasumsikan narator sebagai konflik antara tradisi dengan keinginan hati, konflik yang dimulai ketika Ijah berniat untuk menembok makam anaknya dengan menggunakan uang gajinya sebagai buruh prabrik (lima ratus ribu rupiah). 

Berbeda dalam penggambaran tokoh Isum, dalam cerita yang berjudul “Bagi Dunia, Isum Sudah Mati”:“Apa yang harus aku katakan? Air mata, aku meraba pipi. Kumohon, jangan keluar sekarang. Aku butuh pembelaan dan alasan, bukan tangis. Aku tidak mau terlihat rapuh. Tidak di depan orang tuaku.” (hlm. 15). Dalam cerita pendek ini, narator adalah tokoh Isum. Ia menceritakan dan menggambarkan kehidupan keluarganya yang kurang harmonis. Suaminya pemabuk dan tubuhnya yang “lemah” tidak bisa melawan, hanya bisa pasrah, sebab tokoh Isum memandang bahwa hidup sebagai sebuah pilihan. Terhadap suami ia harus taat, meskipun suaminya pemabuk dan penjudi. 

Cerita-cerita dalam buku ini memang terkesan bergaya realis. Kehidupan para tokoh utamanya yang tidak jauh dari struktur hirerarkis keluarga, ayah, ibu, anak, suami dan teman yang menggambarkan suara lain dari kegetiran perempuan, seperti terlihat cerpen “Merindu Emak” (hlm.l 75), “Perempuan Sukaesih” (hlm. 92), “Perempuan dalam Dinding” (hlm. 97).

Tema cinta nampaknya selalu hadir untuk melengkapkan kisah perempuan. Skylatas Maryam tidak lupa menggambarkan itu dalam buku kumpulan cerpennya. Selain kisah perempuan yang termarjinalkan akibat hegemoni ekonomi dan ideologi. Suasana lokal digambarkan dengan sejumlah tokoh yang dalam dialog sering kali diangging dengan kata neng. Kata neng, sebagaimana diketahui, adalah panggilan untuk perempuan dalam bahasa Sunda.

“Kumaha neng Mia teh, mang? Tos dicandak ka rumah sakit, saurna teu damang wales? Seorang pedagang bertanya pada pedagang asongan lainya; lelaki setengah baya dengan wajah sederhana.”(“Kaki-kaki Hujan”, hlm. 49-50).

Memasukkan dialog Sunda dengan catatan kaki, juga memberi warna lokalitas tersendiri. Selain dalam dialog, warna lokal kesundaan itu juga dicoba diungkap dalam deskripsi latar dan peristiwa. Padasisi lain, kenangan dan hujan adalah medan yang begitu kental dalam kubangan narasi Maryam. “Ia datang bergelenyar-gelenyar, mula-mula menetes sebanyak gerimis, seiring langit yang kian legam. Aku tak bisa menyangkal, tak berani menghindar, bahkan sekedar beranjak dari ambang jendela.” (“Kekasih Hujan”, hlm. 53).

Hujan dalam sergapan dingin, penggambaran suasana untuk memintal kenangan. Hujan saya rasa dimaknai dalam medan kenangan dan pengharapan untuk membasuh kisah dramatik beberapa tokoh dalam cerpennya. Meski, hujan selalu memberi medan puitik dalam mengenang kisa cinta, dan dalam buku ini dapat ditemukan dalam cerpen “Kaki-kaki Hujan”, “Kekasih Hujan” dan “Mengeja Hujan”. Dalam cerita “Mengeja Hujan”, air yang turun dari langit itu memberikan interaksi dan medan pemaknaan simbolik.“Ini hujan yang rintiknya tidak bisa kau namai satu persatu, kang! Lihat itu rinainya! Burai airmata langit yang tidak bisa membasuh pedih yang mengendap di dada ini. Berpuluh-puluh tahun aku memandangi hujan yang sama ditebing jendela, menatap keluar, ke jalan setapak yang kuharap akan membawamu pulang. Tapi engkau tidak ada di jaaln itu, engkau tidak datang. (“Mengeja Hujan”, hlm. 71). Hujan dalam cerpen itu adalah interaksi simbolik yang bergerak dari arah histosris, tokoh kehilangan hujan, kehilangan akang dalam nuansa historis. Ia tidak menemukan suasana seperti dulu yang dirasakannya.

Begitu pula dalam cerita pendek yang berjudul “Payudara”, yang diangkat sebagai judul buku ini. Sudut pandang orang pertama atau si juruh kisah memang menyakitkan. Dalam cerpen ini pengarang sangat pintar memainkan bahan mentah menjadi fiksi yang memaksa mesti dibaca seraca intens. Cerpen itu dibuka dengan kalimat: “Saya telanjang di depan kaca, merayab payudara saya yang rata, menelusuri pinggul replika biola dengan merana, melirik cekungan di antara paha yang saya sangka adalah vagina. Saya masih telanjang di depan kaca, mata saya berkaca-kaca.” (hlm. 83).

Cara bercerita dan gaya bahasa Maryam yang lentur dan mengalir, membuat cerpen-cerpen dalamPayudara bukan saja menarik untuk dibaca tetapi juga telah membuka sekaligus membangun ruang tafsir tersendiri. Sebuah ruang tafsir yang berawal dari kegelisahan atas kesadaran bahwa “menjadi perempuan itu pedih, menelan hampa sendiri, berjongkok di pojok sendiri.” 

Pungkit Wijaya
Penyair. Bergiat di Forum Alternatif Sastra, FAS, Bandung


Sumber:
Sastra Digital

No comments:

Post a Comment