Thursday, April 18, 2013

Memaknai Tragedi (Esai Tentang Novel Elegi)

MEMAKNAI TRAGEDI
(Esai Republika, 3 April 2013)


Tragedi tentu menjadi tema setua hikayat manusia. Dipercakapkan bukan hanya di kalangan kaum agamawan yang diterakan nabi-nabi Ibrani, para filsuf namun juga sastrawan. Tragedi itu dapat bernama ketakutan berkepanjangan, musibah alam yang tak terhindarkan, politik yang dikelola tanpa kebenaran yang menyebabkan masyarakat kehilangan daulat ekonominya, atau agama yang terkelupas dari jangkar khittahnya.

Tragedi juga bisa berbentuk riwayat cinta yang tidak kesampaian seperti banyak dijadikan tema utama pujangga lama. Cinta yang seharusnya menjadi haluan utama dalam hal ihwal justru terangkat dari akar spiritual-ilahiah dan relasi kemanusiaan-insaniyah sehingga semua menjadi serba gelap. Seperti Hamlet yang menyerukan kepada Ophelia dalam dramanya William Shakespeare yang dikutip Jujun S. Suriasumantri (2003)

Ragukan bahwa bintang-bintang itu api/Ragukan bahwa matahari itu bergerak/Ragukan bahwa kebenaran itu dusta/Tapi jangan ragukan cintaku 

Tragedi seringkali mengakibatkan seseorang (dan bangsa) terpuruk dan atau melakukan lompatan kesadaran, dengan lekas membangun kembali “puing-puing” menjadi sebuah “bangunan” yang tegak lurus dengan rasa bahagia. Kesakitan menjadi kedamaian, kehampaan berubah wujudiah menjadi rasaning kegembiraan yang tak tepermanai.

Inilah siklus, atau dialektika dalam diksi renungan filsafat. Tesa, sintesa dan antitesa. Dan akan selalu berputar seperti ini sepanjang hayat. Perputarannya terkadang lambat bahkan nyaris seperti diam, sering juga tak ubahnya gasing. Kaum mistikus menyebutnya dengan sebuah ziarah pencarian tanpa ujung, bergolak, rusuh dan juga tidak perlu jatuh dalam kutub “pendakuan” yang justru akan membuat agama itu menampilkan wajah seram menakutkan. 

Sebuah ziarah yang mengingatkan saya pada puisi buhun yang ditulis filsuf Sunda Haji Hasan Mustapa yang tidak pernah menolak kehadiran Timur dan Barat, tidak menampik miskin dan kaya, demikian juga bahagia dan sakit. Yang bipolar menjadi satu kesatuan, yang dikesankan dikotomik dicarikan titik irisan yang menyatukan satu dengan lainnya. Bukan hitam dan atau putih tapi bisa jadi perpaduan keduanya yang terkadang mengalami kesulitan untuk “membahasakannya”:

Jung nutur-nutur suhud//Kalangkang ti sanubari//Mapay talapakan sanubari//Di mana nya mukti sari//Di mana Alloh kaula//Bisi pahili papanggih//Kadungsang-dungsang kasandung//Manggih lain manggih lain//Rek nanya nanya ka saha//Keur pada ngalain-lain//Teu kaur asa paisa//Asa enya asa lain//Di buru da lain kitu//Di lain-lain da bukti//Di jaga-jaga ka saha//Di sidik-sidik aringgis//Wantu mapay nu neangan//Kapanggih aringgis lain.

Atas nama tragedi itu, yang membedakannya satu dengan yang lain terletak dari pensikapan, dari cara mengolahnya. Di sinilah kita melihat ada banyak orang (dan bangsa) yang acapkali dikepung tragedi dan kesakitan namun mereka cepat belajar dan akhirnya bisa menemukan kesejatian dan bahkan “tragedi” menjadi “maqamat” (tahapan kematangan religiositas) meraih puncak pengalaman spiritual memadat dalam tahta “anuning ning” (kekosongan yang parpipurna).

Elegijati
Pusaran kisah tragedi yang menyerupai lingkaran yang tak pernah berhenti bergerak inilah yang saya temukan dalam novel menarik “Elegi: Ketika Kesakitan ditolak Kehadirannya” yang ditulis novelis yang masih usia belia, Aulia Millatina Fajwah (kelahiran 3 Oktober 1993).

Tokoh tokoh yang diwakili Dylan McFadden, Sara Visella dan Reyka, seolah satu dengan yang lainnya saling mengisi dengan takdir yang warna-warni bahkan seringkali absurd, “Kisah antara coklat dan merah, serta blonde, hitam dan auburn”.

Warna-warni yang menyiratkan tentang kehidupan yang diteguhkannya serupa teka-teki yang muskil untuk ditarik ke arah mana kesimpulan akhir akan diarak. Hanya kepasrahan dan kesigapan untuk menjalaninya dengan ikhlas yang akan menjadi jawaban yang dapat dijadikan panduan penyelamat sebagaimana ditulis dalam novel ini:

“Tidak selamanya langit membentang dengan panorama biru muda yang indah, terkadang berubah kelabu, seperti ingin melepaskan kesakitan bersama air hujan. Tidak selamanya burung-burung berkicau dengan riang, terkadanag hanya diam dan mengepakkan sayap membelah langit bersama ketenangan”.

Dalam “Surprise” jika Sir Arthur Conan Doyle menciptakan tokoh Sherlock Holmes, maka Dylon menciptakan altar ego dalam dirinya, kepribadiannya yang kontras dengan kepribadian sesungguhnya. Dylan menuliskan skenario panjang dan memainkannya sendiri.

Lebih tepatnya menurut saya dihadapan Dylan, mungkin hamparan kehidupan serupa teka-teki silang (TTS) yang harus diisi secara mendatar dan menurun setiap kolom yang telah disediakan Tuhan (dan alam). Setiap pertanyaan harus dijawab sesuai dengan kemampuan nalar yang dimiliki seseorang, sesuai dengan momeri intelektualitas yang ada dalam pribadi masing-masing.

Dalam prakteknya terkadang pertanyaan itu terjawab dengan benar, seringkali tidak terjawab bahkan tidak tahu hurup awal yang menjadi penanda bagi awal jawaban walaupun hurup akhirnya sudah disediakan. Seringpula sebaliknya, tahu hurup awalnya namun tidak pas dengan hurup akhirnya. Terkedang juga kolom itu melintas “bagian tengah” namun tetap saja jawaban itu tidak ditemukan walaupun ada padanannya tapi sayang tidak bisa masuk dalam kolom yang sudah disediakan. 

Sebagaimana hal ini ditulis Millatina untuk menggambarkan tokoh rekaannya yang selalu berubah dalam suasana alam kebatinan yang tidak pernah diam, “Tuhan selalu menyembunyikan rahasia dalam pelukannya. Setelah pertemuannya dengan Sara, Dylan bermetamorfosa menjadi sosok yang berbeda. Jika biasanya Dylan tampak seperti bintik hitam matahari, kali ini lebih tampak seperti brocken spectre, sebuah fenomena optik atmosfer ketika sinar matahari dibiaskan oleh awan atau kabut sehingga di sekitar bayangan orang yang membelakangi sinar tersebut akan tampak aura pelangi”

Setiap teka-teki pada waktunya akan terjawab seiring dengan perjalanan masa, mengalir tak ubahnya air. Filsuf urakan Herakleitos yang dalam tulisan-tulisannya banyak mencela para filsuf seperti Homerus, Arkhilokhos, Hesiodas, Pythagoras, Xenophanes, dan Hekatois menyebutnya dengan panta rhai. Panta rhei kai uden menei. "Semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tinggal tetap." Dalam tulisan selanjutnya “Engkau tidak dapat turun dua kali ke sungai yang sama."

Semua tokoh dalam “Elegi” mengalir dengan guratan yang beragam dan kesimpulan yang tidak terduga. Dalam kebenaran dan kesalahan yang datang silih berganti seperti falsafah yang diyakini pengarang, “Kebenaran dan kesalahan berada dalam satu mata koin, sehingga orang yang menjauhi kesalahan berarti menjauhi kebenaran”. 

Asep Salahudin
Kolumnis Koran Paling Jedar Sealam Sesuatu!


No comments:

Post a Comment